Sabtu, 30 Juli 2011

Terperosok dilobang yang sama

Entah sudah berapa banyak saran dari keluarga, teman, sahabat, bos, kyai, dosen atau siapapun yang mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan kuliah. Tapi kenapa hal ini seperti menjadi kutukan bagi saya, baik S1 maupun S2 lulusnya lama.. hahaha

Butuh 6,5 tahun untuk mendapatkan gelar sarjana dng waktu normal 4 tahun. Meskipun tugas akhir yang menjadi syarat lulus cukup dikerjakan selama 5 bulan saja.

Jadi apa masalahnya sekarang? harus berapa lama lagi agar lulus dan mendapat gelar MBA? ini sudah 2 tahun lebih Bung! tinggal 5 bulan lagi deadline!
Apalagi alasanmu? sibuk kerja, ga punya duit, laptop sering hang, goblok, kurang support, ga ada pacar? hahahha

Tapi maklumat dari Bos besar yang akan memindahkan saya ke Luwuk pedalaman Sulawesi bila belum lulus di awal tahun cukup membikin keder, hadeeehhhh

Ternyata memotivasi orang lain memang jauh lebih mudah daripada memotivasi diri sendiri. Ayoo buka lagi file thesisnya, Semangka......Semangat Kakaaa

Groooookkkk...ngiler...grookkk

Minggu, 24 April 2011

Genre

Baru saja lagu-lagu hits boyband indo jaman saya SMP - SMA diputer ulang di zona 80.
Acara musik milik salah satu tv swasta.

inikah namanya cinta ah ah, inikah cinta, uh uh... ME dab..
katakan lah oh kasih, getaran cinta yang ada dihatiku.. Coboyy.. Ali..Gilberttt...
hahahaha...

Kalau ingat saat itu, saya sering malu apabila ketahuan teman-teman menyanyikan lagu2 boyband indonesia. Karena dianggap lagu cewe, menye-menye tidak cocok bagi cowo yg harusnya memilih dewa, slank ato bon jovi.
Meskipun syairnya juga ttg cinta dan kasih sayang, sama juga toh?

Itulah pilihan, ada keberanian untuk memilih lagu dan selera sendiri. Atau akan mengikuti selera dan preferensi dari lingkungan yang biasanya akan disebut lazim ato pantas.
Kalo misalkan boleh masa itu diulang, saya pasti berani utk menyanyikan lagu2 boyband itu. bagus kok, ga salah. kenapa harus malu?

Tapi keberanian itu muncul dalam usia saya sekarang, dimana cara berpikirnya sudah beda. Harusnya bisa lebih logis, realistis dan komprehensif. Tidak hanya berdasarkan teman kanan kiri atau pertimbangan2 sesaat.
Meskipun saya juga tidak bisa memaksakan kepada anak-anak smp jaman sekarang mengenai jalan pikiran ini.
Jamannya beda om, itu tebakan saya akan jawaban mereka.

Ya begitulah anak jaman, semua orang akan hidup dan memiliki jamannya masing-masing. Dan semua akan belajar dari setiap kesalahan dan perbuatan yg dilakukan, agar bisa teliti dan mengambil hikmah.

Kembali ngomongin boyband, keliatannya era kejayaan New Kid On The Block, Trio Libels dan Boys II Men mungkin akan hadir kembali di Indonesia. Diharapkan dari kemunculan grup boyband seperti Smash, 7Icon dll akan memberi warna baru dalam blantika musik tanah air setelah cukup lama tertindas dalam nuansa Pop Melayu.

Sekedar pesan buat calon bintang masa kini, kalian artis, public figure, bukan hanya tools. Berikan contoh yg baik bagi penggemar kalian karena itu resiko yg didapat dari terkenal dan menjadi panutan bagi orang lain.

Sebelum kepala dan mata cenat cenut, kita tutup dulu.

I heart You

Minggu, 16 Januari 2011

Image

Saat ini saya sedang punya PR besar yaitu memikirkan bagaimana agar nama saya bisa terkenal seperti tokoh-tokoh dan teman-teman paling tidak di dunia maya. Sehingga orang lain akan penasaran dan ingin mengetahui diri saya lebih lanjut bahkan memberikan tawaran sebagai rekanan bisnis.. jiahhh.. kelihatannya masih menjadi mimpi untuk saat ini, tapi saya yakin itu bukanlah hal yang mustahil. Tinggal menunggu waktu saja.

Cara cepat untuk mendapat tips & trik personal branding pasti melalui mbah google. Tapi mayoritas pasti akan menyarankan untuk membuat personal website. Apakah itu jurus jitu? atau berbagai blog dan referensi yang saya temukan ternyata bersumber dari orang yg sama. Dan yang lain hanya copas atau retweet kalau meminjam istilah twitter.

Padahal saya pernah membeli domain, hosting dan membuat personal website sederhana, meskipun tetap kosong tidak ada isinya sampai masa kontraknya habis. hahaha... yang namanya pemalas memang selalu tidak dapat apa-apa :D

Tetapi kembali kepada konsep personal branding sendiri, apakah hal tersebut hanya sekedar mencitrakan diri kita sehingga akan terlihat keren, cool atau sukses sehingga "berharga" dimata orang lain? atau sebuah langkah pragmatis untuk "menjual" diri sendiri sehingga bisa mendapatkan pekerjaan/bisnis yang lebih baik?

Dengan semua keterbatasan pemahaman saya, paling tidak saya tidak mau kalau nantinya hanya seperti yang dilakukan "juragan" bangsa kita sekarang. wooghh nuduuuhh... hehhe.

Kalau tidak tahu ya nanya, baca dan belajar. Mungkin itulah yang harus saya lakukan dalam waktu dekat ini untuk mengetahui apa itu personal branding secara hakiki.

nama saya Toso dan terkadang saya kelihatan keren.

Kamis, 18 November 2010

Merapi

Sudah 2 minggu semenjak Merapi mengeluarkan awan panasnya di tahun 2010 yang menewaskan Mbah Maridjan dan beberapa warga Kinahrejo. Tetapi status "Awas" Merapi masih dipertahankan oleh Mbah Rono selaku Penjaga Merapi "ilmiah" yang menyatakan bahwa materi vulkanik dan aktifitas Merapi masih sangat tinggi yang memungkinkan terjadinya letusan baru. Sehingga zona aman untuk daerah Sleman masih dipertahankan di radius 20 Km. Meskipun Magelang, Klaten dan Boyolali sudah diturunkan radius zona amannya.

Pengurangan radius zona aman ini sangat bermakna bagi para penduduk disekitar Merapi karena dapat memberikan petunjuk bagi mereka untuk kembali kerumah masing-masing. Meskipun harus tetap waspada. Akan tetapi bagi warga yang tempat tinggalnya masih dalam radius zona bahaya dan tinggal dipengungsian memang disarankan untuk tetap sabar dan jangan tergesa-gesa untuk kembali ke tempat tinggal masing-masing.

Kalau membicarakan tentang pengungsi Merapi memang banyak hal yang menarik sekaligus menyedihkan. Gotong royong dan semangat saling membantu dari relawan dan penduduk sekitar barak pengungsian memberikan angin baru kesejukan yang menunjukan bahwa jiwa sosial masyarakat kita masih cukup tinggi ditengah individualitas yang terbentuk seiring majunya zaman.
Gerakan nasi bungkus dan pengumpulan pakaian pantas pakai secara sukarela sangat membantu pengungsi ketika dalam tahap tanggap darurat dimana mereka masih dalam keadaan panik dan bingung setelah berpindah atau dipaksa pindah dari tempat tinggalnya. Dalam keadaan bingung dan tercekam mereka dikumpulkan di barak pengungsian, masih tidak percaya terhadap apa yang menimpa mereka, bagaimana nasib sanak dan saudara. Bahkan anak yang terpisah dari Ibunya, karena mereka harus segera diselamatkan dari ancaman wedus gembel yang bergulung-gulung dan melibas kampung halaman hingga menjadi puing-puing yang berserakan.

Dengan gigih relawan melakukan segala cara dan tindakan kemanusiaan untuk mengevakuasi korban dan mengumpulkan bantuan bagi pengungi yang semakin berjejal di barak-barak yang disediakan. Tanpa perduli peran serta pemerintah dan balas jasa mereka terus berjuang demi kemanusiaan. Dari Sleman, Jogja, Bantul, Klaten, Magelang saling bahu membahu dan bekerja sama agar pengungsi tidak kelaparan dan tetap terjaga kesehatannya. Tidak sedikit dari luar kota seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, Semarang dan kota lain yang dengan sukarela mereka mendaftarkan diri sebagai relawan sambil membawa bantuan dari kota asal yang dengan cukup susah payah mereka kumpulkan. Bahkan seorang relawan dari Malang, Jawa Timur gugur dalam tugasnya karena sakit yang diakibatkan kelelahan dalam membantu pengungsi Merapi. Demi menolong sesama, mereka rela mengorbankan apa saja yang mereka punya.

Apabila berkaca dari kejadian Gempa di Bantul pada Mei 2006, terhadap bagaimana pengelolaan pengungsi dan korban bencana. Penanggulangan pengungsi Merapi ini menurut saya jauh lebih rumit. Pengungsi harus meninggalkan rumah dalam keadaan panik dan tergesa-gesa tanpa sempat membawa barang apapun, karena mereka harus berpacu dengan maut. Mereka sampai ditempat pengungsian tanpa membawa bekal apa-apa, hanya pakaian yang menempel ditubuhnya. Ingin pulang sebentar untuk mengambil beberapa barang dan pakaian ganti juga tidak bisa, karena desa mereka termasuk daerah rawan terkena Wedus Gembel dan hujan material Merapi yang tidak bisa mereka prediksi kapan dan sejauh mana luncuran awan panas tersebut. Sedangkan pengalaman di Bantul dimana saat itu saya menjadi relawan, warga mengungsi dari rumah dan menempati barak pengungsian yang masih berada di sekitar rumah mereka sehingga apabila ada kebutuhan terhadap suatu barang yang pernah dimiliki mereka tinggal mengambilnya dari rumah.

Relawan juga sangat dipusingkan dengan titik pengungsian yang sedemikian banyak dan beberapa pengungsi yang selalu ngeyel untuk kembali ke desa sekedar memberi makan hewan ternaknya. Belum lagi logistik yang menipis dengan cepat karena jumlah pemberi bantuan dan donasi dari pihak luar sangat berbeda jumlahnya dengan donasi Gempa bumi di Bantul. Apakah jumlah korban meninggal sangat mempengaruhi inisiatif orang, lembaga atau instansi dalam memberikan bantuan? Apakah jumlah korban meninggal menjadi pertimbangan media dalam menentukan frekuensi dan durasi pemberitaan bencana? Saya tidak mau berspekulasi dan berasumsi untuk mengatakan ya atau tidak.
Tetapi penderitaan pengungsi dan beratnya tugas relawan pada bencana Merapi tidak kalah, bahkan mungkin bisa disebut lebih parah dibandingkan gempa bumi Bantul.

Sampai saat ini masih banyak ditemukan titik-titik pengungsian yang masih ditahap tanggap darurat dan penghuninya kelaparan karena sangat tergantung dari distribusi nasi bungkus yang semakin sedikit dan dapur umum yang kekurangan bahan baku dan alat masak. Sedangkan pengalaman di Bantul gerakan nasi bungkus hanya berlaku efektif di 1-2 minggu pertama. Karena setelah itu dapur umum sudah berjalan dengan baik, memiliki stok alat dan bahan makanan yang cukup untuk menjauhkan pengungsi dari kelaparan.

Dan Satkorlak penanggulangan bencana bentukan pemerintah masih belum dapat berjalan secara efektif meskipun bencana sudah berjalan lebih dari 2 minggu.

Masalah selanjutnya adalah tahap rehabilitasi dan recovery. Dimana mayoritas pengungsi bermata pencaharian petani dan peternak. Peternak Sapi Perah mungkin bisa mendapatkan solusi lebih cepat, pemerintah dapat memberikan bantuan hewan ternak yang tidak terlampau lama masa produktif menghasilkan susu sehingga warga bisa mendapatkan penghasilan sendiri. Akan tetapi, bagaimana dengan petani salak di Turi dan Pakem? Petani Gula Jawa dan sayuran di Muntilan? yang masa tanam salak, pohon kelapa dan sayuran relatif cukup lama hingga lebih dari 6 bulan bahkan bertahun-tahun agar bisa berproduksi kembali. Apakah pemerintah akan memberikan mereka tunjangan hidup selama beberapa tahun hingga pohon salak tumbuh dan berbuah dan pohon kelapa bisa disadap niranya? Ataukah pengungsi akan direlokasi dan meninggalkan kampung halaman beserta tanah garap mereka? Mungkinkah pemerintah akan menyeragamkan bantuan dalam bentuk bantuan ternak ataupun pembudidayaan ikan air tawar agar memiliki mata pencaharian? Dapatkah petani salak belajar memerah susu, penyadap nira dan pembuat gula merah akan sibuk memelihara ikan? Akankah Kabupaten Sleman sebagai penghasil utama Salak pondoh akan tinggal kenangan? Sementara anak-anak mereka sudah harus kembali bersekolah yang minimal membutuhkan biaya transport dan uang jajan.

Saya yakin Gubernur DIY dan Jateng akan cukup pusing memikirkan semua masalah ini. Karena kompleksitasnya jauh lebih tinggi daripada Gempa Bantul dan semua penanganannya. Peran dan bantuan dari Pemerintah pusat sangat diharapkan karena menyangkut jumlah dana yang cukup besar untuk dapat mengembalikan pengungsi kembali kepada kehidupan normal mereka. Meskipun banyak yang meragukan .

Paling tidak kita sebagai warga masyarakat dapat terketuk hatinya untuk memberikan bantuan semampunya. Apapun yang dapat diberikan pasti sangat berguna bagi korban Merapi dan akan meningkatkan nilai kita sebagai makhluk sosial yang berempati dan berguna bagi sesama.

Sleman, 18 November 2010